Berburu di Lapangan Merah Beijing

cerita panas terbaru
Pada kunjunganku ke Beijing, rombongan kami dibawa tour keliling Kota Terlarang. Saya tidak ingat pada bulan apa lawatan saya ke Bijing itu, tetapi seingatku udaranya lumayan dingin. Rombongan kami menggunakan bus, mungkin ada sekitar 30 orang. Kota terlarang cukup luas untuk dijelajahi dengan berjalan kaki. Aku tidak berminat untuk mengikuti terus rombongan, karena perjalannnyanya bakal cukup jauh.


Aku berdua dengan temanku yang biasa kupanggil Bode, karena bahasa daerahnya dia biasa dipanggil La Bode. Kami memisahkan diri dan kelak kami akan kembali ke tempat semula kami masuk. Beberapa situs yang menarik kami berhenti agak lama. Sekitar 1 jam aku mengajak Bode untuk kembali ke bus kami.


Bus kami ternyata tidak ada di tempat. Ada dua kemungkinan, pertama kami ditingal dan kedua bus berpindah parkir menunggu di pintu keluar. Kami bertanya ke sana kemari, tidak ada yang bisa memberi tahu dimana pintu keluar. Masalahnya kami tidak bisa bahasa Mandarin, yang kami tanya, sama sekali tidak paham bahasa Inggris.


Menggunakan bahasa isyarat untuk tanya pintu keluar, tidak satu orang pun memahaminya. Akhirnya kuputuskan kami akan kembali ke hotel menggunakan taksi. Aku memang selalu mengantongi korek api hotel tempat kami menginap Paling tidak menunjukkan korek api ke supir taksi, pasti dia tahu alamat hotel kami..


Kami memutuskan untuk keluar dari pintu depan Kota Terlarang yang langsung berseberangan dengan Lapangan Merah. Dalam perjalanan kami berdua kebelet pipis. Celingak-celinguk melihat sekitar, tidak ada tanda-tanda ada WC dekat situ. Di arah jam 2 kami melihat sekumpulan food stall. Kami yakin dekat sana pasti ada WC.


Setiap orang yang berpapasan kami tanya dimana WC, tak seorang pun paham. Kami memang membawa buku kecil yang berisi terjemahan bahasa Indonesia – Mandarin. Tapi di situ tidak kami temukan istilah WC. Semua istilah sudah kusebutkan mulai dari WC, toilet, kakus, sampai pakai bahasa daerah segela karena jengkel, tidak ada orang yang mengerti. Aku makin bingung mau ngomong apa lagi. Untuk memakai bahasa isyarat, agak sukar juga gesturenya, apalagi yang kutanya, tukang warung adalah cewek. Tapi karena udah kebelet banget, akhirnya dengan bahasa isyarat aku menggenggam kedua tanganku dengan jari telunjuk mengacung lalu kuletakkan di depan kemaluan.


Si mbak ternyata ngerti, dia tersenyum lalu menunjuk ke satu arah. Ternyata WCnya ada di balik bangunan. Tidak ada tanda-tanda yang bisa dibaca dalam huruf latin. WCnya jorok banget, tapi apa boleh buat sudah tersesak berat akhirnya kami tambahin kejorokan WC itu dengan memancurkan air seni.


Lega rasanya, tinggal satu persoalan lagi, bagaimana caranya mencari taksi dan kembali ke hotel. Kami sempat foto-foto dulu di depan gambar Ketua Mao di pintu utama Kota terlarang.


Beberapa kali kami melambai taksi, tapi tak satu pun mau berhenti. Di tempat kami mencegat taksi memang tidak tampak ada mobil yang berhenti. Aku berpikir, mungkin di jalan raya ini mobil dilarang stop.


Sementara aku sibuk mencari-cari dimana tempat taxi shelter, si Bode sibuk pula menyapu pandangan ke orang yang lalu lalang. Tiba-tiba di memanggil namaku dan dia mengatakan ada 2 cewek, yang istilah kami “ngelawan”. Maksudnya dia tidak menghindar tatapan mata kami. Menurut Bode kedua cewek ini bisa digarap.


Aku setengah yakin, setengahnya ragu . Aku agak yakin, karena Bode pernah menerapkan “ilmu” tebar pesona di Teheran, dan berhasil. Ketika itu kami berdua sedang di restoran, dan ada cewek di meja lain yang duduk membelakangi kami. Bode bilang, sebentara lagi tuh cewek di depan kita bakal ngelihat kita. Eh bener juga karena nggak lama kemudian keduanya menoleh kebelakang dan tersenyum ke kami.


Nah setengahnya kurang yakin karena kami tidak bisa bahasa Mandarin, lantas bagaimana caranya “menghasut” cewek agar bisa kami “bawa”. Seandainya pun bisa bahasa Mandarin apa yang mau diomongi untuk nenteng mereka.


Keduanya cewek remaja manis-manis. Bode mendekati keduanya dan cewek-cewek itu seperti menunggu kedatangan Bode. Aku melihat dari kejauhan dan sepertinya mereka bercakap-cakap. Apa yang diomongi, aneh juga. Namun mereka lalu mendatangiku.


“Mereka mau nunjuki tempat ambil taksi,” kata Bode.


Aku hanya menyebut taxi mereka mengangguk, lalu menunjuk arah di seberang lapangan merah. Aku melihat tempat yang ditunjuk, cukup jauh juga. Jalan di depan kami saja yang akan diseberangi terlihat lebar sekali dan lapangan merahnya jauh lebih lebar.


Si Bode minta aku menuruti saja petunjuk ke dua cewek itu. Aku pun oke saja akhirnya. Mereka berjalan di depan dan kami mengikutinya di belakangnya. “Kayaknya bisa dibawa ke hotel, ” kata Bode.


Aku agak kurang percaya, sebab waktu itu kabar yang kami dengar pemerintah Cina sangat ketat soal membawa pasangan orang lokal oleh orang asing. Setelah jalan cukup jauh akhirnya kami sampai ke taxi shelter, dan ternyata di situ banyak sekali taksi.


Entah bahasa apa yang dipakai Bode, sehingga kedua cewek itu mau ikut naik taksi ke hotel. Aku duduk di depan dengan pengemudi dan mereka bertiga dibelakang. Waktu saat itu sudah menunjukkan jam 5 sore.


Setelah sampai di Holiday Inn tempat kami menginap, aku menyarankan ke Bode untuk dibawa ke restoran dulu. Kalau langsung ke kamar, aku khawatir nanti kepergok teman-temen.


Kami berempat minum kopi teh dan menyantap snack. Kedua cewek itu sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris. Mungkin dia hanya paham 3 kata, yes, no dan taxi.


Si Bode memang kuakui ke pakarannya dalam memikat cewek. Meski terkendala bahasa, tetapi dia bisa menahan kedua cewek itu cukup lama di restoran. Strateginya mengajak kedua cewek itu untuk berdisco nanti malam di hotel Ini. Memang di lantai basement ada disco Xanadu. Kedua cewek itu mengangguk-angguk. Berarti mereka paham dan mau diajak disco.


Dengan bahasa isyarat Bode berhasil menyampaikan maksud bahwa disconya buka masih lama, jadi sementara itu menunggu di kamar dulu. Anehnya kedua cewek itu ngerti dan dia bangkit bersama Bode untuk naik ke kamar. Sementara itu aku membereskan bill. Aku memang menghindar naik lift bersama mereka, takut kepergok sama temen-temen.


Aku memang sekamar dengan Bode. Dia berhasil dengan sukses memasukkan kedua cewek itu ke kamar. Karena kerja keras Bode dan berhasil memasukkan cewek ke kamar, maka dia yang berhak memilih pasangannya. Aku sih di kasih yang mana saja oke, karena keduanya lumayan manis, cuma yang satu kelihatan dewasa yang satu lagi imut.


Persoalan berikutnya adalah bagaimana menggarapnya. Aku tahu Bode tidak bisa bermain kalau ditonton, atau ada pasangan lain main di sebelahnya. Pengalamanku ketika kami sekamar di Solo, lampu kamar dimatikan dan kasur spring bed diturunkan lalu di tegakkan sehingga menghalangi pandangan dari bed yang sebelah.


Sementara aku masih belum menemukan jawaban, tiba-tiba perutku mules pengen buang air besar.Aku masuk dan duduk sambil menghayal dan merokok. Aku sengaja berlama-lama meski sudah selesai. Aku memberi kesempatan Bode untuk “mengolah”. Aku nanti terima bersihnya.


Pintu kamar mandi diketuk-ketuk, kedengarannya Bode minta aku buka pintunya. Begitu dibuka si cewek imut di dorong masuk. ” Sudah oke garap aja,” kata Bode.


Aku rada shock juga bagaimana mulai ngomongnya. Lagi aku bingung sambil menyulut rokok, eh dia malah minta rokokku. Bukan hanya rokok yang kukasikan, tetapi aku kemudian memeluknya dari belakang. Dia diam saja malah ngelendot.


Aku menciuminya dari belakang, rambutnya wangi.Tanganku tanpa basa basi meremas kedua payudaranya yang tidak terlalu besar. Dia diam saja. Aku makin berani, tanganku mencari jalan untuk masuk ke balik bajunya. Sampai akhirnya aku berhasil meremas kedua susunya yang cukup kenyal..


Bajunya kubuka dia membantu dengan memberi jalan agar lebih mudah membukanya. Sambil bersandar di wastafel aku secara bertahap menelanjangi, sampai tinggal celana dalamnya. Badannya putih sekali, Asli Cina dan di Beijing pula. Kemaluannya aku remas-remas dari luar celana dalamnya. Lalu tanganku menyelusup ke dalam. Rambut bawahnya cukup tebal, dan tidak begitu keriting.


Jariku leluasa mengobok-obok kemaluannya yang sudah agak lembab. Kuturunkan celananya dan aku pun lalu menelanjangi diriku. Dia sangat cooperative. Kami berpelukan berhadap-hadapan dan penisku ku gerser-geserkan ke kemaluannya.

Aku lalu menutup toilet dan aku duduk diatasnya. Dia kuminta duduk dipangkuanku dengan posisi berhadap-hadapan. Pelan-pelan kuarahkan penisku memasuki vaginanya sambil dia merendahkan badannya, sampai semua penisku masuk. Hangat sekali di dalamnya dan cukup menjepit. Dia lalu menaik turunkan dan memutar-mutar pinggulnya.

Mungkin sekitar 10 menit kami bermain, sampai aku merasa mau ejakulasi. Dia kupeluk erat dan lepaslah spermaku di dalam vaginanya. Aku tidak tahu apakah dia sudah orgasme apa belum. Tapi yang kurasakan kemaluannya cukup legit juga.

Kami lalu membersihkan diri di bak mandi sambil menyemprotkan air hangat. Dia menyabuni penisku sambil berjongkok. Setelah bersih, dikulumnya penisku. Lututku terasa lemas sehingga aku mencari tempat untuk duduk di pinggir bak mandi. Dia meneruskan mengulum penisku sampai akhirnya berdiri kembali. Dia jago juga mengulum sehingga barangku tidak perlu lama-lama istirahat sudah bisa bangun lagi.

Kamar mandi hotel cukup lega sehingga aku bisa menggelar handuk di lantai. Dia kuminta tidur telentang beralas handuk dan aku menindihnya. Permainan man on the top cukup lama juga berlangsung. Aku lalu minta bergnati posisi, sehingga dia yang berada di atasku. Meski imut anak ini jago juga mainnya. Dia mendesis-desis dan akhirnya mengerang panjang. Mungkin dia mencapai orgasme. Karena setelah mengerang di telungkup memelukku.

Setelah orgasmenya reda posisi kubalik seperti posisi semula dan giliran aku yang menggenjotnya. Vaginanya licin sehingga aku agak lama baru akhirnya bisa ejakulasi.

Lumayan dapat 2 ronde. Kami membersihkan diri lalu berpakaian, dan keluar dari kamar mandi. Di luar Bode rupanya juga sudah selesai, karena mereka sudah berpakaian kembali.


Kami ngobrol sebentar dengan bahasa gado-gado. Bode mengisayaratkan aku dan dia ngomong sambil berbisik bahwa cewek ini kasih uang taksi aja biar pulang sendiri. Bode menganjurkan aku memberi 50 dolar AS, dia juga memberi jumlah yang sama ke ceweknya. Pada waktu itu, dolar AS masih Rp 2.400. Jadi kira-kira ya Rp 120.000. Mereka senang menerima dolar kami dan mereka mau pulang sendiri tanpa kami antar turun ke lobby.


Setelah mereka keluar kamar, Bode mengaku bahwa cewek yang dipilihnya barangnya kurang enak, agak longgar. Jadi dia cuma main sekali saja. ” Ah salah sendiri, kan itu pilihan ente,” kata ku.